Beranda | Artikel
Larangan Bagi Keluarga Mayit Membuat Makanan Untuk Para Tamu
Selasa, 27 Agustus 2019

Bersama Pemateri :
Syaikh `Abdurrazzaq bin `Abdil Muhsin Al-Badr

Larangan Bagi Keluarga Mayit Membuat Makanan Untuk Para Tamu adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam dengan pembahasan Kitab الدروس المهمة لعامة الأمة (pelajaran-pelajaran penting untuk segenap umat). Pembahasan ini disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr pada 25 Dzul Qa’idah 1440 H / 28 Juli 2019 M.

Pembahasan pada halaman 206 pada kitab الدروس المهمة لعامة الأمة.

Download kajian sebelumnya: Do’a Shalat Jenazah dan Posisinya

Status Program Kajian Tentang Pelajaran Penting untuk Umat

Status program Kajian Tentang Bagaimana Menjadi Pembuka Pintu Kebaikan: AKTIF. Mari simak program kajian ilmiah ini di Radio Rodja 756AM dan Rodja TV setiap ahad & senin pukul 17.00 - 18.00 WIB.

Kajian Ilmiah Tentang Larangan Bagi Keluarga Mayit Membuat Makanan Untuk Para Tamu

Kita masih pada pembahasan tentang tata cara penyelenggaraan jenazah, tata cara memandikan, mengkafani dan memakamkannya. Dan kita telah sampai pada bagian ke-10 perkataan beliau bahwa tidak boleh bagi keluarga yang ditinggalkan untuk membuat makanan untuk untuk para tamu.

Hal ini berdasarkan perkataan sahabat yang mulia Jarir bin Abdullah Al-Bajali Radhiyallahu ‘Anhu, beliau mengatakan dahulu kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga yang ditinggalkan/keluarga jenazah dan membuat makanan setelah jenazah dimakamkan termasuk dari perbuatan meratapi yang dilarang. (Riwayat Imam Ahmad dengan sanad hasan)

Adapun orang lain yang membuatkan makanan untuk keluarga yang ditinggalkan atau untuk tamu-tamu mereka, maka tidak mengapa. Dan disyariatkan bagi keluarga-keluarganya juga tetangga-tetangganya untuk membuatkan makanan untuk keluarga yang ditinggalkan. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika mendengarkan kabar kematian sahabat Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu di Syam, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan keluarganya dan kerabat-kerabatnya yang lain membuatkan makanan untuk keluarga Ja’far. Dan beliau mengatakan:

إنه أتاهم ما يشغلهم

“Sesungguhnya telah mendatangi mereka sesuatu yang membuat mereka sibuk.”

Dan tidak mengapa bagi keluarga yang ditinggalkan untuk memanggil tetangga-tetangga mereka dan selain mereka untuk memakan dari makanan yang dihadiahkan untuk mereka dan tidak ada batas waktu tertentu untuk hal tersebut.

Syaikh bin Baz Rahimahullah menjelaskan bahwasanya keluarga jenazah tidak boleh mengumpulkan manusia dan membuatkan makanan untuk mereka setelah mayit dishalati atau setelah dikuburkan. Juga di hari-hari berikutnya. Karena para Salaf Rahimahumullah dahulu mereka menganggap hal tersebut termasuk perbuatan meratapi yang dilarang.

Syaikh Rahimahullah menukil perkataan sahabat yang mulia Jarir bin Abdullah Al-Bajali Radhiyallahu ‘Anhu:

كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ

“Dahulu kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan setelah dimakamkan termasuk perbuatan meratapi yang dilarang.” (HR. Ahmad)

Juga Syaikh bin Baz Rahimahullah berkata dalam buku beliau yang lain, “Adapun membuat makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit untuk orang lain baik itu dari harta ahli warisnya atau dari sepertiga harta yang diwasiatkan oleh sang mayit atau dari orang lain maka ini tidak boleh. Karena ini bertentangan dengan sunnah dan termasuk perbuatan jahiliyah. Juga hal itu menambah kesusahan bagi keluarga yang ditinggalkan dan menambah musibah untuk mereka. Dan tidak ada satupun perintah dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga satupun perbuatan dari sahabat juga dari para Salafus Shalih. Tidak pernah mereka lakukan ketika seseorang wafat atau setelah seminggu atau setelah 40 hari ataupun setelah setahun. Bahkan hal itu adalah perbuatan bid’ah yang wajib untuk ditinggalkan dan diingkari. Dan wajib seseorang bertaubat kepada Allah dari perbuatan tersebut karena hal itu adalah perbuatan baru dalam agama dan perbuatan meniru Ahlul jahiliyah.” (Majmu Fatawa Syaikh bin Baz)

Berkata Syaikh bin Baz Rahimahullah adapun jika orang lain yang membuatkan makanan untuk keluarga mayit atau untuk tamu-tamu mereka, maka tidak mengapa. Dan disyariatkan bagi keluarganya yang lain juga tetangga-tetangganya untuk membuatkan makanan untuk keluarga mayit. Karena Nabi Sallallahu Alaihi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika mendengarkan kabar kematian Ja’far bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu di Syam, beliau memerintahkan kerabatnya dan orang-orang lain untuk membuatkan makanan untuk keluarga Ja’far. Dan beliau mengatakan:

إنه أتاهم ما يشغلهم

“Sesungguhnya telah menimpa mereka sesuatu yang membuat mereka sibuk.”

Juga hadits beliau:

ْاصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا ، فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ، أو أتَاهُمْ مَا يُشْغِلهُم

“Buatlah untuk keluarga Ja’far makanan karena telah mendatangi mereka sesuatu yang menyibukkan mereka.” (HR. Ahmad dan selainnya yang dikatakan oleh Syaikh bahwasannya sanadnya shahih)

Maka tidak mengapa bagi orang lain, tetangga-tatangga, keluarga mayit, untuk mengirimkan makanan untuk keluarga mayit. Dan apabila makanan yang sampai kepada mereka lebih dari apa yang mereka butuhkan, dan mereka mengundang orang-orang miskin untuk makan bersama mereka, maka hal ini tidak mengapa. Namun apabila hal ini dijadikan semacam perayaan atau pesta, maka ini tidak diperbolehkan.

Jadi, tidak diperbolehkan bagi keluarga mayit untuk membuat makanan dan mengumpulkan manusia untuk memakan-makanan tersebut karena hal ini tidak ada dasarnya bahkan ini termasuk perbuatan kaum jahiliyah.

Bagian 11 – Ihdad Kepada Seorang Yang Meninggal

Tidak boleh bagi seorang wanita melakukan ihdad karena kematian seseorang lebih dari tiga hari kecuali untuk suaminya. Maka wajib bagi seorang wanita untuk melakukan ihdad selama 4 bulan 10 hari. Kecuali apabila dia sedang hamil, maka sampai ia melahirkan. Berdasarkan sunnah yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Adapun yang dimaksud dengan ihdadnya seorang wanita, maka ada 5 hal. Yaitu:

  1. Ia harus tinggal di rumahnya di mana dia tinggal ketika suaminya wafat. Dan hal itu harus ia lakukan semampunya dan tidak boleh keluar dari rumah tersebut kecuali suatu kebutuhan yang penting.
  2. Dia harus meninggalkan wangi-wangian baik di bajunya maupun di badannya. Demikian juga tidak boleh menggunakan henna.
  3. Ia harus meninggalkan atau tidak boleh memakai perhiasan dengan segala bentuknya.
  4. Tidak boleh memakai pakaian yang ada hiasannya.
  5. Tidak boleh memakai celak di kedua matanya.

Dari shahabiyah Ummu Athiyah Radhiyallahu ‘Anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beliau mengatakan:

كُنَّا نُنْهَى أَنْ نُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

“Dahulu kami dilarang untuk untuk seorang yang meninggal lebih dari tiga hari kecuali untuk suami maka 4 bulan 10 hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Juga dari Ummu Habibah Radhiyallahu ‘Anha beliau mengatakan, “aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لا يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ أنْ تُحِدَّ على مَيِّتٍ فَوقَ ثَلاَثِ، إلا علَى زَوْجٍ، فإِنَهَا تحدّ عَلَيْهِ أرْبَعَةَ أشْهُرٍ وَعَشْرًا

“Tidak hala bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad kepada seorang mayit lebih dari tiga hari kecuali untuk suaminya, maka ia melakukannya sebab selama 4 bulan 10 hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kecuali jika dia sedang hamil, maka sampai ia melahirkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Adapun wanita-wanita yang hamil, maka batasan iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.” (QS. At-Talaq[65]: 4)

Syaikh bin Baz Rahimahullah berkata adapun laki-laki maka tidak boleh melakukan ihdad kepada seorangpun yang meninggal dari kerabatnya atau selainnya. Karena ihdad ini khusus untuk wanita dan ihdad ini mengikuti iddahnya.

Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullah, adapun ihdad karena kematian suami, maka hal tersebut mengikuti masa iddah. Dan ini termasuk konsekuensi dan penyempurna hal tersebut. Karena seorang wanita membutuhkan untuk berhias, memakai wangi-wangian, agar suaminya suka kepadanya dan agar menjadi baik hubungan di antara keduanya. Maka apabila suaminya meninggal, ia harus melakukan iddah. Dan apabila dia belum menikah dengan lelaki yang lain, maka sudah menjadi kesempurnaan hak yang pertama yaitu ditegaskannya larangan bagi orang lain sebelum selesai masa iddah tersebut untuk seorang wanita dilarang melakukan hal-hal yang ia lakukan untuk suaminya.

Juga hal tersebut akan menutup pintu agar wanita tersebut tidak tamak untuk dinikahi oleh laki-laki juga laki-laki tidak tamak untuk menikahinya di masa iddah tersebut. Maka ia dilarang untuk berhias, memakai kosmetik, memakai wangi-wangian.

Namun apabila batas waktunya telah sampai dan selesai masa iddahnya, maka ia butuh untuk melakukan hal-hal yang membuat orang ingin menikahinya. Maka dibolehkan baginya untuk melakukan apa yang dibolehkan bagi wanita yang mempunyai suami.

Dan tidak ada sesuatu yang lebih baik daripada syariat ini. Baik larangan maupun apa yang dibolehkan. Seandainya seluruh akal manusia di atas muka bumi ini mengusulkan sesuatu, maka tidak ada usulan atau tidak ada pemikiran yang lebih baik daripada syariat ini.

Downlod MP3 Ceramah Agama Tentang Larangan Bagi Keluarga Mayit Membuat Makanan Untuk Para Tamu


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/47593-larangan-bagi-keluarga-mayit-membuat-makanan-untuk-para-tamu/